Tahun Baru Hijriah adalah salah satu hari besar bagi umat Islam di
seluruh penjuru dunia. Peringatan yang hadir setiap setahun sekali itu
untuk mengenang peristiwa hijrahnya Rasulullah saw. dan para pengikutnya
dari Mekkah menuju Madinah. Perayaan Tahun Baru Hijriah jatuh pada
tanggal 1 Muharam (kalender Arab) atau 1 Suro (kalender Jawa).
Di Indonesia, perayaan tersebut menjadi tradisi baru yang lahir dari
perpaduan budaya Islam dan Jawa. Karenanya, bentuk peringatannya
mengakar di kalangan masyarakat Islam tradisional. Meski begitu,
perayaan Tahun Baru Islam terasa hampa makna karena hadir semata-mata
sebagai warisan turun-temurun yang biasa terjadi. Oleh karena itu, umat
Islam perlu menengok sejarah masa lampau yang melatarbelakangi peristiwa
hijrahnya Nabi Muhammad saw.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan Rasul dan para pengikutnya berhijrah dari Mekkah menuju Madinah. Pertama,
alasan keamanan yang tidak mendukung dakwah islamiyah di Mekkah. Nabi
Muhammad saw. mendapat perlawanan dan kecaman luar biasa dari kelompok
kafir Quraisy yang tidak senang dengan kehadiran Islam sebagai agama
baru. Bahkan paman Nabi, yaitu Abu Jahal dan Abu Lahab menabuh genderang
perang untuk mengusirnya agar keluar dari Mekkah. Kedua, tradisi
jahiliyah Mekkah yang sangat bertentangan dengan risalah Islam.
Masyarakat Mekkah pada waktu itu dikelompokkan berdasarkan garis
keturunan dan kepemilikan harta benda. Berhala-berhala pun menjadi
sesembahan mereka layaknya Tuhan. Sementara itu, Rasulullah saw. tak
dipercaya hanya karena ia berasal dari kalangan Bani Hasyim yang miskin.
Melihat kenyataan itu, sungguh tidak ada pilihan lain untuk
menyelamatkan agama Allah swt. yang merupakan rahmat bagi semesta alam
kecuali berpindah ke suatu tempat yang dapat menerima Nabi dan
ajarannya. Oleh karena itu, dipilihlah Madinah sebagai tempat untuk
membangun kehidupan baru yang cinta damai.
Peristiwa hijrah dari Mekkah ke Madinah pada tanggal 24 September 622 M
merupakan titik balik kehidupan Nabi Muhammad saw. Di sanalah kemajuan
pesat perikehidupan umat muslim akan menjelang di bawah pimpinan beliau.
Setelah tiba di Madinah, Nabi Muhammad saw. mengutus sahabat Hudzaifah
Ibnu Yaman untuk melakukan sensus penduduk. Hasil sensus menyatakan
bahwa terdapat 10.000 penduduk yang menetap di Madinah. Mereka terdiri
dari 1.500 orang muslim, 4.000 orang Yahudi, dan 4.500 orang musyrik
Arab. Umat Islam adalah kaum minoritas, namun dihormati dan mendapat
kepercayaan untuk mengatur masyarakat yang dicita-citakan bersama.
Peran Rasulullah saw. di Madinah bukan semata-mata sebagai pemimpin
spiritual, namun juga sebagai pemimpin politik yang mengatur
pemerintahan, pertahanan dan keamanan, merancang undang-undang, dan
menjalin hubungan baik dengan berbagai pihak. Demikian besar peran dan
tugas beliau dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan bernegara di
Madinah. Akhirnya, dalam kurun waktu sekitar 12 tahun Nabi berhasil
mengubah kehidupan masyarakat Arab yang sangat membanggakan garis
keturunannya menjadi masyarakat yang bermoral dan berlandaskan
persaudaraan. Piagam Madinah pun lahir sebagai wujud kesadaran luhur
demi terciptanya tatanan masyarakat yang berdasarkan prinsip persamaan,
keadilan, dan musyawarah. Ketiga prinsip itulah yang akhirnya mampu
menyatukan kehidupan orang Islam, Yahudi, Nasrani, musyrik Arab, kaum
Anshar, dan Muhajirin.
Sejarah mencatat Madinah al-Munawarah (kota yang bercahaya) sebagai
peradaban terindah yang pernah dibangun oleh Rasulullah saw. Seorang
tokoh dari Barat menyebutnya sebagai sebuah contoh masyarakat modern
yang belum ada tandingannya sepanjang sejarah peradaban yang paling
modern sekalipun. Tidak berlebihan apa yang menjadi kekaguman para
sejarawan Barat tersebut. Bagaimana pun, dengan keyakinan dan sentuhan
kasih sayangnya, Nabi mampu mengubah Madinah menjadi kota besar yang
memancarkan cahaya perdamaian ke seluruh penjuru dunia hingga saat ini.
Tentang peran beliau, Allah berfirman dalam surah ali-Imran ayat 110
yang artinya, "Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan
mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah...."
Selama hidup di Madinah tidaklah banyak orang yang bersedia mengikuti
ajaran Nabi Muhammad saw. Tetapi siapa pun yang telah tersinari petunjuk
Ilahi, mereka hidup tenang dan damai. Sementara itu, penderitaan dan
pengorbanan seakan tak pernah lepas dari diri Rasul manakala ia
menjalankan perintah hijrah. Hijrah memang mengandung resiko yang tidak
ringan. Segala yang menjadi kecintaan harus ditinggalkan, dilepas, dan
diikhlaskan demi menggapai ridho Allah swt. semata. Kendati berada di
posisi yang lemah dan teraniaya, perintah berhirjah merupakan suatu
keniscayaan bagi kaum yang hatinya hanya patuh dan tunduk kepada Allah
swt. Sepanjang keimanan masih terpatri teguh di lubuk hati maka
kemenangan tak akan pernah sirna. Inilah hal pertama yang ditanamkan
Rasulullah saw. kepada sahabat-sahabatnya jauh sebelum hijrah.
Peristiwa hijrah Nabi yang bersejarah akhirnya dijadikan awal mula tahun
baru Islam, yakni tahun Hijriah. Kota Yatsrib kemudian berganti menjadi
nama Madinah yang juga dikenal sebagai Madinah al-Munawarah atau
Madinatur Rasul. Dari kota Madinalah cahaya kasih sayang dan perdamaian
itu memancar ke seluruh bumi sampai kapan pun sepanjang umat Islam mampu
menjaga risalah Rasulullah saw.
Kini, meskipun telah terentang berabad-abad yang lampau dari masa kini,
hendaknya umat Islam dapat mengambil hikmah dari peristiwa tersebut.
Ketulusan hati, kebulatan tekad, dan kegigihan menghadapi berbagai
rintangan adalah hikmah hijrah yang semestinya direnungkan sebab hal itu
adalah modal utama untuk membentuk masyarakat kokoh dan berakhlak
mulia.
sumber : hikmah-kata.blogspot,com